Panggung Sastra Hidupkan 170 Tahun Sejarah Pers Indonesia Lewat Dua Karya Teater di Mas Don Art Center
Tanganjurnalis.com, Surakarta— Dalam rangka memperingati 170 tahun perjalanan sejarah pers nasional, Mas Don Art Center menghadirkan malam istimewa bertajuk Sastra Panggung. Acara ini menampilkan dua pertunjukan teater yang menggugah: Sang Penggali Timah dan Pers di Zaman Edan 1855, yang akan dipentaskan pada (24-25 Mei 2025) di Jl. Empu Gandring No. 40, Kemlayan, Serengan, Solo.
Mengusung semangat reflektif dan kritik sosial, Sastra Panggung ditujukan bagi siapa pun yang peduli terhadap seni dan realitas zaman—mulai dari jurnalis, pegiat seni, akademisi, hingga masyarakat umum.
Kedua pertunjukan menghadirkan pendekatan visual dan naratif yang kuat, menyajikan dialog artistik tentang relasi antara kebenaran, kekuasaan, dan suara rakyat.
Pertunjukan pertama, Sang Penggali Timah, disutradarai oleh Hanindawan dan diadaptasi dari naskah klasik Penggali Intan karya Kirdjomuljo. Dengan latar Pulau Bangka, kisah cinta tragis dalam lakon ini menjadi medium untuk menyuarakan dampak ekologis dan sosial dari eksploitasi sumber daya alam.
Teater ini diperkuat oleh keterlibatan seniman Galuh Sari, Darsono Djarot, Sinta Dewi, Galih Hady, serta seniman instalasi Rahmad Poetra dan Vicky Saputra. Dukungan dramaturgi dari maestro Sardono W. Kusumo menambah kekayaan estetika dan makna pertunjukan.
Sementara itu, Pers di Zaman Edan 1855 menghadirkan pentas reflektif yang menggali akar sejarah media Indonesia sejak terbitnya surat kabar berbahasa Jawa, Bromartani, pada 1855.
Dipersembahkan oleh kolaborasi tiga nama besar—Sardono W. Kusumo, Otto Sidharta, dan Danang Pamungkas—karya ini menjadi ruang kontemplasi atas semangat pers independen dan tantangannya dari masa ke masa, termasuk dalam menghadapi ‘zaman edan’ ala Ronggowarsito.
Berdasarkan riset sejarah yang merujuk pada karya Denys Lombard, pementasan ini menampilkan gabungan teks-teks dokumenter, musik klasik, dan koreografi kontemporer, merespons dinamika sosial politik dari era kolonial hingga era digital. Sebuah seruan untuk tidak melupakan: bahwa suara kebenaran kerap lahir dari ruang-ruang yang tertekan.
Kedua pertunjukan dalam satu malam ini dirancang bukan semata untuk hiburan, melainkan sebagai upaya membangkitkan kesadaran bersama di tengah zaman yang semakin kompleks dan penuh kebingungan.